Antropolog Nadine Peacock di Zaire, diambil dari Ember & Ember Cultural Anthropology, 2013.
Sebagai manusia, kita diyakinkan dengan tinggal di lingkungan yang familiar. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dikelilingi oleh obyek-obyek, orang-orang dan bangunan – bangunan yang sudah kita kenali dan kita pikir dapat kita mengerti. Lantas, apa yang terjadi jika kita tiba-tiba diasingkan ratusan hingga ribuan mil lintas benua ke dalam tatanan sosial yang baru?
Alih-alih menjadi anggota dari masyarakat kita sendiri dengan rasa penuh percaya diri, kita lantas bersikap seperti anak-anak – terus-menerus mengajukan pertanyaan, dan berusaha memahami berbagai macam aktivitas yang membingungkan di sekitar kita.
Dalam upaya untuk memahami lingkungan baru, kita akan ‘memutar otak’ baik secara intelektual maupun emosional.
Situasi tersebut menimbulkan kesadaran yang kuat untuk memahami bahasa asing yang hanya dapat dipahami setengahnya atau bahkan tidak sama sekali. Kita juga akan menghindari tindakan yang tidak dapat diterima pada lingkungan tersebut padahal baik-baik saja untuk dilakukan di tempat kita berasal.
Menurut Antropolog Simon Coleman dan Helen Watson, itu adalah beberapa hal yang dihadapi Antropolog ketika mereka terjun ke lapangan. Mereka harus memahami dan merekam berbagai hal di dalam lingkungan sosial yang mereka teliti. Mereka harus menerjemahkan pengalaman pembauran mereka di tempat yang ditelitinya menjadi sesuatu yang permanen seperti buku, atau film.
Menurut Hortense Powdermaker, ”Antropolog adalah orang asing sekaligus teman bagi apa yang ia pelajari – peserta dalam kehidupan kelompok yang mereka teliti selama satu tahun atau lebih dan seorang pengamat yang terpisah dari masyarakat mereka.”
Proses dari kerja lapangan adalah teknik penelitian yang membutuhkan kesabaran, dedikasi, dan ketekunan. Artinya, teknik penelitian tersebut benar-benar mengambil alih kehidupan peneliti. Agar hasil observasi benar-benar memuaskan dan maksimal, peneliti diharuskan untuk terjun, membaur langsung, dan menjadi bagian dari obyek yang ditelitinya. Dalam kajian Antropologis, studi atau kerja lapangan adalah sesuatu yang penting karena peneliti dapat merasakan langsung apa yang terjadi di tempat yang ia teliti.
Proses dari pembauran terhadap masyarakat yang diteliti memakan waktu paling tidak selama satu tahun. Selama satu tahun itu, seorang antropolog minimal dapat mengetahui ritme kehidupan sehari-hari, bulanan, hingga tahunan dari komunitas masyarakat tersebut.
“di dalam antropologi, alat utama untuk penelitian adalah kemampuannya untuk membaur, membentuk hubungan pertemanan, peka terhadap berbagai situasi sosial”
Di dalam banyak disiplin ilmu, peneliti seringkali menggunakan banyak peralatan yang mahal untuk memperoleh hasil atau informasi. Namun di dalam antropologi, alat utama untuk penelitian adalah kemampuannya untuk membaur, membentuk hubungan pertemanan, peka terhadap berbagai situasi sosial yang membingungkan dan melihat pola dalam kacaunya kehidupan sehari-hari.
Disadur dari buku Helen Watson dan Simon Coleman; An introduction to anthropology – London : Chartwell Books Inc,1990.