SEMARANG- Paham radikalisme belum sepenuhnya dapat terkikis dari Tanah Air. Kendati demikian paham semacam itu juga tidak mendapat tempat di tengah masyarakat. Namun ditengarai masih terdapat kelompok yang ingin menebarkan pengaruh mendasari paham yang berseberangan dengan pandangan hidup bangsa ini.

“Kampus menjadi sasaran utama. Memang tidak secara terang-terangan. Tapi bisa dilihat aktivitasnya,” tutur Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Nurul Huda, kemarin.

Dia berbicara dalam diskusi publik bertajuk moderatisme dalam tantangan, yang digelar oleh Fakultas Ilmu Budaya Undip. Forum itu juga mengundang guru besar antropologi Undip, Prof Dr Mudjahirin Thohir, Ketua Prodi Antropologi Undip, Dr Amirudin, hingga pakar antropologi Unnes, Dr Moh Yasir Alimi. Diskusi itu dibuka oleh Dekan FIB, Dr Nurhayati dengan kata pengantar oleh Ketua Pelaksana, Mulyo Hadi Purnomo M.Hum. Diskusi dipimpin moderator Afidatul Lathifah M.A.

Nurul Huda menjelaskan para peneliti Unusia selama beberapa waktu disebar memantau aktivitas gerakan radikalisme. Terdapat delapan kampus yang diamati oleh mereka di empat kota wilayah Jateng dan DIY.

Peneliti menelusuri pengaruh gerakan radikalisme mulai dari kampus di Surakarta, Yogyakarta, Purwokerto hingga Semarang.

Masif

“Sebagai akademikus kami tentu saja bertanya-tanya, kenapa gerakan ini masif menebarkan pengaruh ke dalam kampus. Lalu sebagai civitas academica, apa yang bisa dilakukan untuk menangkal gerakan yang bisa memecah belah persatuan bangsa ini,” imbuhnya.

Pihaknya sekaligus memberikan apresiasi penuh terhadap langkah sejumlah perguruan tinggi yang sudah mengambil kebijakan menangkal gerakan ini. Mereka mulai dari Undip, Unnes, UNS, UIN Sunan Kalijaga dan lain yang mengantisipasi supaya kampus tidak dijadikan ajang menebar benih kebencian dan permusuhan.

Mudjahirin Thohir menegaskan radikalisme mengatasnamakan agama adalah bentuk fundamentalisme keyakinan. Maknanya positif apabila dianggap sebagai pemahaman agama secara menyeluruh tapi tetap menyisakan ruang pada perbedaan dan keragaman. Sebaliknya akan bisa bersifat negatif jika bersifat pemahaman dan pengalaman agama yang hegemonik dan menutup ruang bagi perbedaan dan keragaman.

“Terlebih malah mengatasnamakan agama dan Tuhan untuk meletigimasi kekerasan. Sesuai hasil riset beberapa lembaga kekerasan atas nama marak pascatumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998” tutur dia.

Amirudin menyatakan perlunya diwaspadai gerakan radikal masuk ke dalam kampus. Sebab, paham ini masuk bukan dalam bentuk untuk dikaji, diteliti atau didiskusikan. Lebih dari itu sudah menjadi pemikiran yang bisa menggerus tradisi ilmiah yang bebas nilai dan sikap kebangsaan masyarakat kampus.